Senin, 13 Oktober 2014

Pemerintah Diminta Menjamin Harga

Pemerintah Diminta Menjamin Harga

BANDUNG-National Reference Group on Kakao Jawa Barat menilai petani kakao enggan melakukan proses fermentasi karena selisih harganya tidak terlalu jauh dengan biji kakao asalan.

Koordinator National Reference Group (NRG) on Kakao Jabar Iyus Supriatna mencatat selisih harga antara kakao fermentasi dan kakao asalan kini berada di kisaran Rp2.000 per kilogram (kg)-Rp3.000 per kg, sehingga hal tersebut kurang menggairahkan petani.

"Petani lebih memilih menjual produk yang asalan karena selisih harganya pun berbeda tipis," katanya kepada Bisnis, Rabu (8/10).

Dia mengusulkan pemerintah menjamin harga yang tinggi kakao fermentasi untuk diserap pasar agar petani termotivasi melakukan proses fermentasi.

Selain itu, katanya, pemerintah harus menggulirkan beberapa program yang tepat agar petani terdorong melakukan proses fermentasi kakao.

Saat ini, harga biji kakao asalan mencapai Rp32.000 per kg, sementara biji fermentasi tertinggi dihargai Rp35.000 per kg.

Dengan keuntungan yang tipis, dia menilai petani masih enggan melakukan proses fermentasi.

"Idealnya selisih harga mencapai di atas Rp5.000 per kilogram. Kami meyakini jika pemerintah bisa menjamin harga seperti itu maka mayoritas petani mau melakukan proses fermentasi," tegasnya.

Dia menilai syarat penjualan kakao ke industri pengolahan harus terfermentasi mulai berlaku 2016. Hal itu sesuai dengan syarat mutu dan pematangan biji kakao merujuk Peraturan Menteri Pertanian (Per-mentan) No. 67/2014.

"Pemerintah harus dengan cepat mengeluarkan kebijakan penjaminan harga kakao serta dorongan penyuluhan pada petani agar mereka melakukan fermentasi kakao sebelum 2016," ujarnya.

Selama ini, katanya, para petani menanam bibit kakao menggunakan benih yang tidak jelas asal-usulnya, sehingga produktivitasnya tidak sesuai harapan.

"Penetapan bibit harus berdasarkan norma yang berlaku. Artinya, jangan sampai menanam dengan bibit asal-asalan untuk satu kali tanam karena harga bibitnya jauh lebih murah," ujarnya.

Dia menilai kondisi itu harus menjadi bahan masukan bagi pemerintah guna mengatur strategi perdagangan yang lebih baik dalam meningkatkan komoditas kakao Jabar.

Ketua Asosiasi Pengusaha Industri Kakao dan Cokelat Indonesia (APIKCI) Sony Satari menilai Permentan 67/2014 mendorong hasil produksi petani akan lebih baik, sehingga kebutuhan industri dalam negeri tidak perlu ditutupi dari kakao luar negeri. "Selama ini, kami masih impor kakao dari Ghana untuk mencampur kakao lokal untuk mendapatkan cita rasa atau standar produk kakao olahan," tegasnya.

(k29/k30)



source : Bisnis Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar