Problem Asap Terus Meneror
Rahmat Pramulya,
Dosen dan Peneliti di UniversitasTeuku
Umar, Meulaboh, Aceh Barat
Ribuan hektare (ha) hutan di Kalimantan dan Sumatra dilaporkan kembali terbakar. Asap tebal yang ditimbulkan bukan saja memicu darurat asap di wilayah-wilayah tersebut, melainkan juga sudah merambah Singapura. Kejadian memalukan itu terulang lagi. Kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan ini sesungguhnya bukan bencana, tapi kejahatan terencana akibat pemerintah kebablasan mengeluarkan izin perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri (HTI). Setelah banyaknya perkebunan yang mendapat izin operasi, yang terjadi justru kebakaran hutan dan lahan. Artinya risiko ini sudah diketahui pemerintah jauh-jauh hari.
Tak terhitung berapa kerugian yang harus ditanggung, baik dari aspek finansial maupun nonfinansial. Di antaranya dampak pada kerusakan sumber daya hutan dengan segenap ekosistemnya. Teror asap juga telah melumpuhkan sebagian sendi perekonomian. Transportasi udara, darat, dan perairan menjadi terganggu. Dunia pendidikan mengeluh dan dibuat pusing lantaran asap yang begitu pekat cukup mengganggu kegiatan sekolah.
Dalam kasus kebakaran hutan, harus ada upaya tegas dalam menginventarisa-sikan di mana lokasi kebakaran/penye-bab asap terjadi apakah di kawasan hutan, kawasan HTI, perkebunan PTPN/ swasta besar nasional (PBSN), pertanian padi, karet atau wilayah-wilayah sekitar kota/desa yang dimiliki masyarakat. Kelihatan pemda takut dan tidak transparan atas data-data ini. Karena pernah terjadi, seorang kepala Dinas Perkebunan didemo masyarakat gara-gara menyalahkan masyarakat petani peradangan berpindah.
Penelitian Setyono (2001) menyebutkan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 99% diakibatkan oleh manusia, baik disengaja maupun tidak (unsur kelalaian); kegiatan konversi lahan menyumbang 34%, perladangan liar 25%, perta- f nian 17%, kecemburuan sosial / 14%, proyek transmigrasi 8%, dan i hanya 1% yang disebabkan oleh , alam.
Kebakaran hebat pertama yang merupakan akibat dari kombinasi antara pengelolaan hutan di era Soeharto dan fenomena iklim El Nino telah menghancurkan 210.000 kilometer persegi (m 2 ) dari wilayah Provinsi Kalimantan Timur selama tahun 1982-1983. Kalimantan Timur merupakan fokus pertama ledakan produksi kayu In-
donesia dan hampir seluruh kawasan dibagi menjadi kawasan HPH selama tahun 1970-an. Praktik kegiatan pembalakan di sini umumnya buruk, meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa dalam hutan. Banyak spesies pionir dan sekunder tumbuh pesat di kawasan-kawasan yang telah dibalak, sehingga membentuk lapisan vegetasi bawah yang padat dan mudah terbakar daripada lapisan penutup tanah yang tidak begitu rapat.
Harus bertindak
Kebakaran ini tidak dapat dikendalikan sampai akhirnya musim hujan tiba pada Mei 1983. Saat itu, 3,2 juta ha hutan habis terbakar; 2,7 juta ha di antaranya adalah hutan hujan tropis. Biaya akibat kebakaran tahun 1982-1983 sekitar US$ 9 miliar, hampir US$ 8,3 miliar berasal dari hilangnya tegakan pohon (Hess, 1994).
Ketika kemarau panjang berikutnya akibat El Nino yang hebat melanda Indonesia terjadi di tahun 1997-1998. Menjelang awal tahun 1998 hampir 10 juta ha telah terkena dampak kebakaran, yang menyebabkan berbagai kerusakan yang diperkirakan hampir senilai US$ 10 miliar. Asap akibat kebakaran ini membuat sebagian besar kawasan Asia Tenggara berkabut hingga beberapa bulan.
Meskipun sudah ada peringatan dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjelang tahun 1997 akan terjadinya fenomena El Nino, pembakaran terutama untuk membuka lahan hutan dan belukar yang terdegradasi untuk perkebunan terus
terjadi di areal yang luas di Sumatra dan Kalimantan. Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan tidak terbatas hanya di Kalimantan dan Sumatra. Kebakaran dilaporkan terjadi di 23 dari 27 provinsi di Indonesia pada tahun 1997-1998. Namun, sejumlah besar kebakaran hutan yang luar biasa terjadi di kedua pulau itu disebabkan oleh perusahaan perkebunan dan berbagai proyek pemerintah yang melenyapkan puluhan ribu hektare dalam satu kesempatan.
Bencana ini sudah sangat kronis dan terjadi setiap tahun. Namun penyelesaian pemerintah selalu tidak pernah sampai ke akar persoalan. Perhatian pemerintah selama ini hanya bersifat temporer dan reaktif. Kebakaran hutan tidak dapat dipandang sebagai masalah yang berdiri sendiri. Kebakaran hutan merupakan sebuah simtom dari memburuknya kesehatan hutan alam. Eksploitasi hutan alam dalam skala masif yang mulai dilakukan pada awal tahun 1970 telah menyebabkan hutan-hutan alam rusak parah.
Hutan telah dikonversi dan dialihfungsikan. Hutan-hutan-telah terdegradasi yang menyebabkan kehilangan keseimbangan ekologis sehingga rentan terhadap kebakaran. Keadaan ini diperparah dengan politik konversi hutan dengan membuka perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan kebun kayu komersial (HTI) dan izin pemanfaatan kayu (IPK).
Masalah kebakaran hutan sudah mencapai pada titik yang paling kritis, yang ditandai dengan kerentanan terhadap kebakaran yang sangat tinggi. Dengan keadaan demikian, penyelesaian masalah kebakaran hutan harus menyentuh akar masalah. Dengan meneruskan kebijakan yang ada saat ini, pada hakikatnya pemerintah sedang melakukan bunuh diri atas pengelolaan hutan dan menghabiskan sumberdaya alam bagi kepentingan generasi yang akan datang.
Pemerintah perlu memberikan penanganan segera {emergency response) sebagai pertolongan pertama pada masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan dan meminimalkan dampak negatif dari asap. Selain itu, perlu dibentuk tim in-dependerl untuk investigasi lapangan dan menindak tegas pelaku (antara lain dengan pencabutan izin, pemberian sanksi, dan hukuman seberat-beratnya bagi pelaku pembakar hutan). Penghentian pemberian insentif kebijakan dan finansial yang merusak hutan alam dengan mencabut seluruh IPK pun perlu dilakukan. Dan yang tak kalah penting, perlu ditegakkan moratorium/jeda penebangan hutan untuk menyelamatkan generasi yang akan datang.
Rahmat Pramulya
source : Harian Kontan
Senin, 13 Oktober 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar