Sang Garuda Raksasa yang Membawa Dilema
Proyek Giant Sea Wall memiliki konsekuensi sosial dan lingkungan yang sangat besar.
CYune besar berwarna kuning itu berputar mengangkat tiang beton. Tiang-tiang beton tersebut lalu ditumpuk dan ditancapkan di tengah dan di pinggir laut. Di tempat terpisah, beberapa pekerja tampak sedang mengerja-
kan struktur kayu dan besi yang berdiri di atas ikatan batu kali dan tanah di bibir laut.
Pemandangan di daerah Cilincing dan Muara Angke, Jakarta, Rabu (8/10) lalu itu adalah proyek peninggian tanggul yang merupakan bagian dari
megaproyek Giant Sea Wall alias Tanggul Laut Raksasa
Di sebelah timur Muara Angke, dari Baywalk Mall atau Bandar Djakarta Seafood City, Anda bisa melihat barisan tanggul yang memanjang ke tengah laut. Sedikit berbeda dengan proyek penguatan tanggul di Cilincing, tanggul panjang itu nantinya akan menjadi bagian dari proyek pulau buatan yang menjelma sebagai kawasan niaga dan hunian. Meski begitu, proyek pulau ini tetap merupakan bagian dari Giant Sea Wall.
Bergeser sedikit lagi ke Timur, kalau berjalan lurus ke Utara di Jalan Pantai Indah Kapuk, lepas dari bundaran dekat Tzu Chi International School, Anda juga melihat beberapa tiang pancang dan struktur besi di atas air laut. Struktur besi itu membentuk sebuah jembatan yang mer\jorok ke laut.
Tepat di ujung jembatan yang belum jadi tersebut, Anda bisa melihat sebuah pulau besar yang hampir jadi. Tanah berpasir terhampar memanjang ke tengah laut. Beberapa tiang pancang dan crone juga tampak di sana. Sebuah kapal dredger penyemprot tanah dan pasir lego jangkar di dekatnya.
Seorang petugas keamanan proyek melarang Tabloid KONTAN melongok ke dalam. "Kalau mau lihat dari atas, kelihatan jelas banget," kata sang satpam terkekeh sambil menunjuk pesawat jet penumpang yang sedang terbang rendah. Lokasi proyek ini memang dekat Bandara Soekarno Hatta.
Salah satu pengembang besar Tanah Air yang akan membangun pulau artifisial tersebut. Namanya Pulau Golf. Sebab, selain menjadi kawasan niaga dan hunian ekslusif, di pulau itu kelak juga hadir lapangan golf.
Dan, pulau yang belum jadi itu juga menjadi bagian dari megaproyek Giant Sea Wall.
Nama resmi megaproyek itu sebenarnya National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), yang bermakna Pengembangan Nasional Terintegrasi Pesisir Ibukota. Proyek ini merupakan jawaban atas empat masalah Jakarta, yakni penurunan permukaan tanah, banjir akibat serangan rob alias air pasang dari laut, kemacetan lalu lintas, serta pencemaran sungai yang parah.
Pemerintah akan membangun benteng laut raksasa plus reklamasi wilayah pesisir menjadi waterfront city. Infrastruktur utama adalah benteng laut yang membentang dari Tangerang ke Bekasi sekaligus menjadi jalan tol. Di tengah benteng ada pulau buatan yang berbentuk burung garuda.
Relokasi warga
Pulau garuda ini bakal menjadi pusat waterfront city baru di Jakarta. Ada water reservoir atau waduk air baku sebagai penampungan air. Air dari sungai yang datang akan duernih-kan dan ditampung. Adapun pulau buatan milik swasta akan terletak dekat garis pantai.
Proyek itu dipercaya akan menghadang serangan rob, menghidupkan lingkungan yang sehat di utara Jakarta, menja-min ketersediaan air bersih, dan memperbaiki konektivitas. Singkat kata, proyek senilai lebih dari Rp 500 triliun ini sangat layak dilaksanakan.
Masalahnya, bagaimana dengan nelayan dan penduduk yang hidup di pesisir Utara Jakarta, Tangerang, dan Bekasi? Dengan ditutupnya akses laut
oleh tembok raksasa yang memiliki satu atau dua pintu saja dan lebih sering tertutup, mereka akan mengalami kesulitan untuk melakukan pekerjaannya. Dan nyatanya, cetak biru proyek itu hanya memberikan jawaban sederhana buat masyarakat lokal relokasi.
Warga jelas bingung dengan opsi itu. "Mau dipindah ke mana? Terus, nanti cari makan bagaimana kalau tak bisa mencari ikan?" tanya Rohmat, nelayan Cilincing, Jakarta.
Sebenarnya, sih, sudah lama warga Cilincing berharap kehadiran benteng penahan air yang kokoh di pesisir Jakarta. Tembok yang ada sekarang sebenarnya sudah cukup efektif. "Tapi, kalau banjir pasang besar, air naik melewati tembok," kata Rohmat. Cuma masalahnya, demi proyek raksasa ini, nelayan dan warga pesisir teluk Jakarta harus direlokasi.
Saprudin, warga Dadap, Kosambi, Tangerang, juga bingung. Sebetulnya, sudah lama warga Dadap yang mayoritas nelayan dan buruh pabrik juga mengharapkan ada tembok penghadang rob. Maklum, banjir akibat gelombang air laut pasang seringkali menghantam kampung mereka. Saprudin berharap pemerintah tidak mengabaikan kepentingan nelayan.
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), mengungkapkan, Giant Sea Wall harus melakukan relokasi besar-besaran sekitar 17.000 nelayan di teluk Jakarta. Ini belum menghitung nelayan dan warga pesisir di Tangerang dan Bekasi yang juga terkena dampaknya. "Bagaimana mungkin mengatasi persoalan banjir rob dilakukan dengan menggusur warga pesisir," katanya.
Solusi dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan pemerintah pusat yang sudah menyiapkan rumah susun sebagai tempat tinggal warga, tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab, ini berarti, warga yang menggantungkan hidup sebagai nelayan harus meninggalkan mata pencahariannya.
Halim juga menilai, krisis air yang menjadi ancaman serius warga Jakarta juga belum terjawab dengan proyek ini. Sebab, proyek itu belum mengatur jelas upaya untuk memperbaiki kualitas air sungai dan kanal yang mengalir ke teluk Jakarta. Kali Dadap, misalnya, penuh dengan sampah dan airnya sa-
ngat kotor plus berbau.
Giant Septic Tank
Padahal, kalau kualitas air sungai masih buruk, dengan membangun Giant Sea Wall yang dirancang dengan sistem tertutup, air akan terperangkap dan kualitas air memburuk lantaran berkurangnya dinamika aliran yang berperan penting bagi proses pencucian alam atau natural flushing.
Yang terjadi Giant Sea Wall akan berubah menjadi Giant Septic Tank atau kakus raksasa Ini yang terjadi pada bendungan laut Semaguem di Korea Selatan. "Gubernur DKI Basuki Tja-haja Purnama (Ahok) mestinya tahu itu karena dia pernah ke Korea. Tapi, kenapa masih nge-yel juga," ujar Halim.
Ahok mengakui adanya kekhawatiran tersebut. Meski demikian, ia mengajak semua pi-
hak untuk tidak berpikir negatif terhadap proyek NCICD. Pemprov DKI akan terus mengkaji masalah ini secara bertahap karena proyeknya juga masih terus bergulir. "Jangan cuma ngomong. Kasih solusinya apa gitu, bos," kata Basuki.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung mengatakan, proses selanjutnya dari proyek ini memang bakal terganjal pemukiman warga di pesisir teluk Jakarta Solusinya, warga akan dipindahkan dan Pemprov DKI me-yiapkan tanah untuk tempat relokasi. Pengerjaannya dilakukan Kementerian Perumahan Rakyat.
Menurut Deputi Gubernur DKI Bidang Tata Usaha dan Lingkungan Hidup Sarwo Handhayani, perubahan arah proyek tersebut masih dimungkinkan. Sebab, proyek yang mulai bergulir Kamis (9/10) itu belum masuk tahap pembangunan tembok laut sisi luar.
Proyek tahap awal saat ini masih berupa peninggian dan penguatan tanggul di bibir pantai dari yang tadinya hanya 2,7 meter menjadi 5 meter. Pemprov DKI akan mensosialisaikan proyek ini dan akan mendata warga yang harus direlokasi.
Semoga, sang garuda raksasa bisa benar-benar mengepakkan sayapnya di teluk Jakarta.
Amal Ihsan Hadian
source : Tabloid Kontan
Senin, 13 Oktober 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar