Senin, 13 Oktober 2014

Selamatkan Demokrasi

Selamatkan Demokrasi

Sepekan terakhir, usai kemenangan KixiIim Mer.ih Pulih meivhut kekuasaan di parlemen, suasana politik cenderung memanas. Bebagai spekulasi diumbar, termasuk menebar spekulasi bahwa terdapat skenario untuk menghambat pelantikan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) pada 20 Oktober mendatang.

Suasana bertambah tidak kondusif ketika para investor mengekspresikan kecemasan mereka melalui transaksi saham dan mala uang. Yang terjadi, indeks di lantai bursa terus tertekan dan rupiah pun kian melemah. Kendati tak ada yang bisa memastikan berapa besar porsi kecemasan politik ini sebagai faktor yang mendorong mereka untuk melepas saham-saham tersebut.

Sebenarnya sah-sah saja memiliki kekhawatiran seperti ini, namun justru menjadi tidak sehat kalau memelihara perasaan khawatir yang berlebihan. Upaya Koalisi Merah Putih untuk menang dalam pertarungan di parlemen adalah sesuatu yang wajar. Mereka harus ngotot melakukan itu untuk memaksimalkan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan. Tak ada konstitusi yang dilanggar, apalagi tak ada cara- cara kekerasan yang dipakai. Perjuangan yang biasa sebagaimana ketika Koalisi Indonesia Hebat memenangkan Jokowi-JK.

Pertarungan yang kita saksikan adalah dinamika politik yang wajar, tak perlu dilebih-lebihkan. Reaksi dan kecurigaan yang berlebihan justru akan memperkeruh suasana. Makanya tak pantas kalau seorang Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Puan Maharani mencurigai dan mengatakan ada maksud tersembunyi di balik ngototnya partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menguasai pimpinan DPR dan MPR beserta alat kelengkapannya.

Koalisi Merah Putih seolah-olah dituduh sedang merancang strategi untuk menghambat pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 20 Oktober mendatang. Tuduhan tanpa dasar. Karena tak ada alasan bagi siapapun untuk menghambat pelantikan Jokowi-JK yang sudah secara sah terpilih oleh rakyat secara demokratis.

Mungkin saja ada satu atau dua pihak yang sengaja mengail di air keruh dengan memanfaatkan situasi politik yang memanas seperti ini. Tapi pasukan, itu suara minoritas yang tidak berpengaruh sedikit pun. Bisa saja gerakan satu dua orang itu mencemaskan, tapi sekali lagi tak perlu bereaksi secara berlebihan.

Pernyataan-pernyataan dari beberapa tokoh kunci di Koalisi Merah Putih mestinya memberi keyakinan kepada publik bahwa pelantikan Jokowi-JK akan beriajan lancar dan tak ada yang menghambat proses itu.

Selain Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang menegaskan bahwa partainya mendukung pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 20 Oktober 2014, pernyataan serupa juga datang dari pengurus partai Gerindra.

Bahkan, Ketua MPR RI Zulkifli Hasan secara serius menekankan bahwa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi-JK pada 20 Oktober 2014 harus sukses dilaksanakan.

Keyakinan-keyakinan itu mestinya menyulut Koalisi Indonesia Hebat untuk lebih menaruh kepercayaan bahwa lawan politiknya juga memiliki komitmen untuk menjaga demokrasi di negeri ini. Menyelematkan demokrasi ini adalah tanggung jawab bersama. Klaim bahwa hanya kelompok kita yang pro-demokrasi dan stereotip bahwa pihak lawan adalah pecundang dan perusak demokrasi merupakan fase awal menuju kehancuran demokrasi.

Negara ini dibentuk oleh elemen-elemen yang heterogen dan memiliki persoalan yang kompleks sehingga satu kelompok tak bisa berjalan sendiri, mengklaim pintar sendiri, menganggap seolah-olah bisa berjuang sendiri. Maka yang bisa dilakukan adalah terus membangun komunikasi, terus menggiatkan dialog dalam situasi serumit apa pun.

Seperti kata pemikir sosial Anthony Giddens, dialog itu sangat penting untuk membangun solidaritas. Lalu demokrasi yang dialogis itu tidak mungkin terlaksana tanpa trust, dan trust sendiri hanya tercipta lewat dialog yang terus-menerus dan tak pernah lelah.

Karena itu surat kabar ini tak henti-hentinya mendorong agar baik pihak Koalisi Indonesia Hebat maupun Koalisi Merah Putih untuk berhenti menebarkan perasaan dendam dan curiga, tinggalkan klaim sebagai pejuang demokrasi yang sok saleh dan bisa menang sendiri, kikis sterotip bahwa yang lain itu pecundang yang memiliki akal bulus.

Karena sikap-sikap seperti itulah yang menghambat upaya untuk saling merangkul satu sama lain, berkomunikasi dengan tulus untuk membangun negeri ini secara bersama-sama. Demokrasi yang hanya bersandar pada prosedur dan ritual-ritualnya, tanpa ada perasaan saling percaya dan dialog yang persisten, hanya menunggu hari untuk bertikai dan saling menghancurkan,

redaksi



source : Bisnis Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar