Sisi Lembut Organisasi
Mengapa ada perusahaan yang bisa bertahan lama, dan ada yang hidup hanya seumur jagung? Mengapa ada perusahaan yang inovatif dan cepat menyesuaikan diri dengan zaman, dan ada yang mandek dan tak sigap menghadapi perubahan? Mengapa ada perusahaan yang sanggup menjaga kesehatannya dan terus bertumbuh, dan ada yang kena sedikit goncangan langsung limbung?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti pernah menghinggapi benak para pelaku bisnis dan pemikir manajemen. Inovasi atau mati, berubah atau diubah, terus maju atau jalan buntu, adalah sekadar contoh wacana dikotomis yang menghinggapi dunia bisnis saat ini.
Disukai atau tidak, pada kenyataannya saat ini kita menghadapi gelombang perubahan yang lebih dahsyat, dengan frekuensi yang lebih sering.
Fenomena alam, profil teknologi dan dinamika masyarakat bisa berubah secara spontan, dan seringkali berjalan menurut arah yang tak dapat diduga. Tak ada cara lain bagi sebuah perusahaan untuk terus bertahan dan bertumbuh, selain memupuk daya adaptasi dan kekuatan inovasi. Bukan sekadar inovasi yang bersifat spontan dan kebetulan, namun inovasi yang terlembagakan dan berkesinambungan.
Pertanyaannya adalah apa yang melandasi terciptanya kemampuan inovasi yang baik dalam sebuah perusahaan? Apakah terletak pada kehebatan sang pemimpin, kejituan strategi, atau ketajaman eksekusi? Ataukah ada faktor lain?
Rich Karlgaard, penerbit dan juga penulis di majalah Forbes, dalam karya terbarunya The Soft Edge (2014), mengungkapkan ada tiga faktor yang perlu dikelola secara seimbang agar perusahaan bisa bertahan jangka panjang dan bertumbuh berkesinambungan.
Ketiga faktor yang perlu dikelola itu adalah strategic base (basis strategi yang menjadi landasan operasi sebuah bisnis), hard-edge (eksekusi yang cermat, cepat dan efisien), serta soft-edge (nilai-nilai terdalam yang dihayati oleh segenap elemen organisasi).
Persoalannya adalah, di antara ketiga faktor tersebut, banyak perusahaan yang hanya terpaku kepada dua elemen pertama, yakni strategi dan eksekusi, dan mengabaikan elemen soft-edge. Padahal, kedua elemen pertama tersebut sangat mudah berubah dan ditelan zaman.
Lihat saja, perusahaan-perusahaan seperti Eastman Ko-
dak, Digital Equipment, dan MySpace, yang pada awalnya begitu solid, tiba-tiba terjerembap jatuh karena keliru merumuskan pilihan strategis mereka. Sama halnya pula kasus yang menimpa perusahaan komputer Dell, yang memiliki skema eksekusi nyaris tanpa cacat
Imunitas perusahaan
Kontrol biaya yang ketat, penguasaan rantai pasokan, kecepatan pengiriman barang, adalah kekuatan-kekuatan ekseku- sional Dell yang tak terbantahkan. Semuanya berjalan sempurna pada saat teknologi informatika masih didominasi oleh produk PC (personal computer) dan laptop? Namun, saat profil teknologi berubah kepada komputer tablet dan smart-phone, seketika itu juga eksekusi Dell yang hebat menjadi tak relevan lagi.
Adalah soft-edge alias "sisi lembut" yang mampu menyuntikkan imunitas ke dalam tubuh sebuah organisasi, sehingga dapat bertahan dari segenap goncangan dan sehat bertumbuh secara jangka panjang.
Lebih jauh, Karlgaard merumuskan lima pilar dari soft-edge perusahaan, yang terbukti menopang keberlangsungan dan pertumbuhan sebuah perusahaan, yakni (1) Trust, (2)Smarto, (3) Teams, (4) Taste, dan (5) Story.
(1) Trust merupakan elemen soft-edge yang paling mendasar, menyangkut kepercayaan dari seluruh stakeholders (pemegang saham, konsumen, karyawan, pemasok, dan sebagainya) kepada perusahaan.
(2) Smarts berarti kemampuan individu-individu dalam organisasi untuk belajar terus-menerus, mengikuti dinamika perkembangan zaman. Mayo
Clinic bisa puluhan tahun menjadi rumahsakit acuan seluruh praktik medis dan kesehatan di dunia, karena ikhtiar pembelajaran yang tanpa lelah.
Adapun (3) Teams menunjukkan kemampuan kolaborasi segenap jajaran organisasi, sehingga mampu menghasilkan kinerja yang optimal. Bisakah kita bayangkan, tanpa tim kerja yang solid, apakah perusahaan logistik FedEx bisa mengelola 300.000-an karyawannya di seluruh penjuru dunia untuk mengangkut 2.5 miliar paket antaran setiap tahun dengan tepat waktu?
(4) Taste adalah kata yang digunakan oleh Steve Jobs saat menjelaskan tampilan estetik produk Apple yang unik, namun disukai orang secara universal. Robert Egger, seorang perancang produk-produk sepeda dengan model khusus, menerjemahkan taste sebagai the elusive sweet spot between data truth and human truth.
(5) Story, adalah "jalan" ataupun cara yang ditempuh perusahaan dalam rangka mencapai tujuan (purpose)-nya secara jangka panjang, tak sekadar target bisnis jangka pendek.
Story perusahaan seperti Toyota terbaca jelas lewat segenap ilustrasi dan praktik yang terungkap di dalam Toyota Way. Mendengar nama Toyota Way seolah mendengar jaminan bahwa produk yang dihasilkan akan bermutu bagus, bersahabat, aman bagi konsumen dan rakyat secara luas, yang lahir dari proses produksi yang tekun, disiplin, dan efisien.
Hewlett Packard adalah perusahaan yang pernah tersungkur, karena meninggalkan HP Way yang dibangun dan ditanamkan oleh pendirinya, Bill Hewlett dan Dave Packard. Selama beberapa dekade, HP Way tertanam kuat di setiap sanubari karyawan HP, dan menjadi sumber inspirasi sekaligus juga standar etis bagi mereka. Namun, nafsu menguber angka pertumbuhan pendapatan dan keuntungan pada diri beberapa CEO pengganti, tanpa disadari, mulai menyingkirkan praktik HP Way dalam keseharian organisasi. Akibatnya, perlahan tapi pasti, organisasi HP mulai limbung dan menggerogoti kinerja bisnis perusahaan
Meg Whitman, pimpinan puncak HP saat ini, berusaha sangat keras untuk menghidupkan kembali HP Way yang sempat ditinggalkan oleh beberapa pendahulunya. Whitman menyadari, nilai-nilai yang terkandung dalam HP Way laksana "roh hidup" yang diembuskan secara langsung oleh pendiri perusahaan, David Packard dan Bill Hewlett.
redaksi
source : Tabloid Kontan
Senin, 13 Oktober 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar